0

Mencoba melihat permasalahan BOPB kaitannya dengan sistem pendidikan Indonesia secara keseluruhan

Posted by HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK on 11.07 in ,

Tentu kita masih ingat bahwa satu setengah tahun yang lalu, muncul sistem atau mekanisme pembayaran yang baru di Universitas yang menyandang nama bangsa ini, Universitas Indonesia. Sistem pembayaran yang dikenal dengan sitem pembayaran BOPB tersebut muncul dengan alasan utama, yaitu:

Pada saat itu (2008) pihak rektorat akan menaikkan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dengan alasan bahwa dana yang dimiliki UI saat itu tidak mencukupi untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan UI. Dalam hal ini, salah satunya menyangkut pembiayaan gaji para dosen. Mahasiswa tentu saja tidak menginginkan kenaikan BOP tersebut terjadi, maka melalui meja perundingan dengan rektorat akhirnya para mahasiswa (yang tergabung dalam sebuah tim kecil) pun mengajukan sebuah usulan mekanisme pembayaran yang (mereka anggap) BerKeadilan (sistem BOPB). Awalnya, sistem ini merupakan sebuah mekanisme pembayaran dimana semua mahasiswa diharuskan mengajukan berkas-berkas (yang nantinya akan dihitung ke dalam sebuah matriks yang telah dibuat) untuk menentukan jumlah bayaran yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa setiap semesternya, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Namun, pada perjalanannya, BOPB ini berubah menjadi sistem keringanan dalam pembayaran dan bukan mekanisme atau cara membayar.

Sebelum membahas lebih lanjut, menurut saya, ada dua hal mendasar yang perlu dikritisi dalam BOPB ini :
1. Pada saat itu (2008), pihak rektorat belum mengeluarkan transparansi apapun terkait besarnya kebutuhan pembiayaan di UI pada saat mereka menyatakan kehendaknya untuk menaikkan BOP di UI. Namun, mahasiswa kemudian dengan serta merta malah menyetujui pernyataan rektorat tersebut dan mengajukan usulan sistem BOPB.
2. Jika pun transparansi dikeluarkan, dan ternyata memang benar serta tertera dengan jelas bahwa UI kekurangan dana untuk membiayai kebutuhan-nya, apakah menarik biaya dari mahasiswa merupakan hal yang tepat?

Selanjutnya, menurut saya, permasalahan BOPB ini tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan sistem pendidikan yang berlaku secara keseluruhan di Indonesia.
BOPB hanyalah dampak dari diberlakukannya status UI sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dimana dalam peraturan pemerintah mengenai hal ini (PP no. 152 tahun 2000), “pintu masuk” penarikan dana dari masyarakat mulai dibuka. Selain BOPB, kita juga tahu bahwa ada hal lain yang diberlakukan di UI (sebagai cara untuk menambah pemasukan keuangan Universitas) yang juga tidak bisa dibenarkan, yaitu pemberlakuan Admission Fee (AFee) dan berbagai cara lainnya termasuk melalui jalur seleksi masuk UI (UMB, SIMAK, KSDI, Kelas Paralel, dll) yang juga menimbulkan permasalahan tersendiri.


Dari penjelasan ini, yang manakah yang sebenarnya kita pertentangkan?
BOPB kah? Admission Fee kah? SIMAK UI kah? Atau BHMN itu sendiri?

Saya pribadi berpendapat, bahwa akar permasalahannya terdapat pada diberlakukannya UI sebagai BHMN dimana “pintu masuk” pembebanan pembiayaan pendidikan kepada masyarakat mulai dibuka. Hal ini dapat terlihat pada pasal 12 PP no. 152 yang menyebutkan bahwa :

(1) Pembiayaan untuk penyelenggaraan, pengelolaan, dan pengembangan universitas berasal dari :
a. Pemerintah;
b. Masyarakat;
c. Pihak luar negeri;
d. Usaha dan tabungan universitas.

Pasal ini jelas menunjukkan menurunnya political will pemerintah RI untuk benar-benar memajukan pendidikan tinggi di Indonesia dengan mulai “diserahkannya” pembiayaan pendidikan kepada masyarakat, (dan ditambah lagi dengan) pihak luar negeri, usaha dan tabungan universitas.
Padahal, di dalam pembukaan UUD tahun 1945 dengan jelas disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga pendidikan di negeri ini merupakan hak bagi setiap warga negaranya.


Selain itu, mengenai tersebut, disebutkan lebih lanjut dalam UUD NRI tahun pasal 31 ayat (1) bahwa:
“ Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.

Jika memang benar dan diakui bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara, maka tentu pemerintahlah (yang diserahi sebagian kedaulatan oleh rakyatnya) yang bertanggung jawab memenuhi hak tersebut. Pendidikan tidak boleh menjadi hal yang mewah bagi masyarakat. Dan tentu saja pemerintah harus dapat menjamin bahwa tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun bagi warga negaranya dalam memperoleh hak pendidikan tersebut.

Sampai di situ dulu. Apakah kita benar-benar meyakini sepenuhnya bahwa pendidikan adalah memang merupakan hak setiap warga negara? Ataukah kita sudah memiliki keyakinan yang berbeda? Misalnya karena melihat realita kondisi Indonesia saat ini, dimana terjadi kesenjangan ekonomi yang sangat besar dan tinggi dalam masyarakat kita sehingga yang setiap warga negara memang harus “membayar” pendidikannya sesuai dengan kemampuan finansial masing-masing? Atau mungkin ada hal yang lain?

Saya pribadi, masih meyakini bahwa pendidikan adalah memang merupakan hak setiap warga negara, tanpa harus membedakan dia miskin atau kaya.

Selanjutnya, jika kita melihat dalam lingkup yang lebih luas, yaitu sistem pendidikan yang berlaku secara keseluruhan di Indonesia, maka kita akan dihadapkan pada kenyataan yang sama : bahwa pendidikan masih saja “diserahkan” pada masyarakat.

Hal tersebut dapat kita lihat dalam berbagai regulasi mengenai pendidikan yang diberlakukan di negeri ini, yaitu Undang-Undang no. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan sebuah Undang-Undang lainnya (dan hampir saja dibelakukan*semoga tidak), yaitu Undang-Undang no. 9 tahun 2009 mengenai Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dan (lagi-lagi) kedua Undang-Undang ini pun berkisah tentang hal yang sama seperti PP no. 152 tahun 2000, yaitu tentang “pintu masuk” pembebanan pembiayaan pendidikan kepada masyarakat yang mulai dibuka.

Dalam UU Sisdiknas misalnya, dalam Pasal 6 disebutkan bahwa :
Pasal 6
Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan.
Hal ini tentu saja jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 31 UUD NRI tahun 1945, yang sudah saya sebutkan di atas, yang berbunyi :
“ Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
Selain itu, Pasal 9 :
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
(Dalam pasal 9 ini, masyarakat WAJIB memberikan dukungan sumberdaya dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam UU BHP, selanjunya, dapat kita lihat bahwa dukungan sumberdaya yang dimaksud adalah berupa pendanaan pendidikan)

Dalam UUD NRI tahun 1945 pasal 31 ayat 2 disebutkan bahwa :
” Setiap warga negara wajib mengikuti penddidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Tetapi, dalam UU SISDIKNAS ini jelas-jelas hal tersebut dilanggar. Hal ini tercantum dalam :
Pasal 12
Setiap peserta didik berkewajiban:
. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan
keberhasilan pendidikan;
. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang
dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Selain itu, UU Sisdiknas inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya UU BHP. Hal tersebut dapat kita lihat dalam :

Pasal 53
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Sejauh ini, kita sudah melihat bahwa PP no.152 tahun 2000 dan UU no. 21 tahun 2003 mempunyai nafas yang sama. Selanjutnya, mari kita lihta UU no.9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).

UU BHP
Jalinan pasal per pasal dalam UU BHP ini menunjukkan bahwa UU ini memang bernafaskan kapitalisme dan neoliberalisme dalam pendidikan.
Hal ini dapat kita lihat dengan jelas pada pasal 40 hingga pasal 46 mengenai pendanaan pendidikan dimana jelas sekali terlihat bahwa pendidikan sudah berubah menjadi barang dagang.


Lahirnya UU BHP ini tidak terlepas karena Indonesia telah ikut menandatangani GATS dimana sektor jasa pun menjadi barang komoditas, termasuk pendidikan. Dan yang lebih mengagetkan lagi, UU BHP ini pun lahir dari usulan World Bank yang tercantum dalam dokumen IMHERE dimana dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa RUU BHP harus disahkan sebelum tahun 2010 jika Indonesia ingin mendapatkan pinjaman utang dari World Bank.

Betapa kita benar-benar dijajah!

BOPB : Konsekuensi UI sebagai BHMN
PP BHMN, UU Sisdiknas, UU BHP : Regulasi yang ada di negeri ini untuk pendidikan

Melihat semua ini, bagaimanakah pendapat anda semua?

Tabik,
Fildzah Izzati


****

Penulis adalah Fildzah, mahasiswi ilmu politik angkatan 2007. Selain sebagai mahasiswi, fildzah juga aktif di BEM FISIP UI sebagai Kepala Departemen Kajian dan Strategi 2009.

Terimakasih fildzah atas kontribusinya!


0

Come on people

Posted by HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK on 19.59 in ,
Gue menyadari, bahwa peran orangtua dalam tumbuh kembang anaknya itu sangat penting. Layaknya sebuah cermin, perlakuan orang tua terhadap anak itulah yang pelan-pelan membentuk dasar perilaku si anak.


hurt people hurts people

Tadi siang, gue abis nonton Oprah, kali ini bintang tamunya Bill Cosby.
Mereka sedang membahas tentang African American yang hidup di Amerika, yang kita tahu sama tahu bahwa sejak dulu rasisme sudah mengakar kuat di Amrik. Walaupun, sekarang orang negro sudah lebih dihargai daripada jaman dahulu... Tetapi, dalam kehidupan nyatanya, hal itu tidak hilang..

Si Bill Cosby memaparkan tentang tindak kejahatan yang dilakukan oleh orang negro, kesempatan hidup tipis, lingkungan yang buruk, terkena aids, pembunuhan dimana-mana, narkoba merajalela, kemiskinan dan banyak hal lainnya...
Semua itu, image kebanyakan kaum African American, yang memang tinggal di lingkungan kumuh. Tampaknya, negara Amerika itu pelan-pelan bergerak menuju arah tiranipolis...

Bill Cosby mengatakan semua itu terjadi karena seperti lingkaran setan. Kenapa mayoritas remaja afro-amerika sudah mengecap yang namanya penjara dan melakukan tindak kekerasan?
Karena mereka semua bercermin dari orang tua mereka.
Karena mereka tidak mempunyai sosok ayah di mata mereka.
Karena 70% anak hanya memiliki ibu, yang hanya seorang remaja.
Karena mereka diperlakukan kasar oleh orang tua mereka, di remehkan oleh lingkungan mereka, dan akibatnya sebagai pelampiasan diri, semua kecaman itu benar-benar mereka buktikan...

Bukannya gue sok peduli dengan kejadian yang terjadi di negara lain. Tapi kejadian di negara lain, kata-kata Bill Cosby seperti sebuah cerminan untuk gue.
Bukan hanya di Amerika, di Indonesia juga (kurang lebih laah..) terjadi hal seperti itu.

Coba kalian lihat kasus kekerasan geng perempuan itu. Apa-apaan itu!? Sebagai seorang perempuan juga, pantas kalau gue mengatakan kalau mereka gak punya etiket sama sekali.
Tapi jangan hanya menyalahkan mereka, sebagai pelaku kekerasan dan.. mungkin juga korban kekerasan.
Kita harus lihat lingkungannya, pertama dilihat dari keluarganya. Apakah mereka dibesarkan dengan baik dan benar? Apakah mereka pernah diperlakukan kasar di keluarga mereka? Siapakah lingkungan perkawanan mereka?
Well, kalaupun ternyata mereka mengaku dari ‘keluarga baik-baik’... Yah, one things i should say... good girl gone bad.
Salah orang tua mereka juga, membiarkan anak-anak mereka bergaul dan masuk lingkungan yang tidak baik. Biar bagaimanapun juga, tanggung jawab orang tua itu sampai anak-anak itu dewasa dan mampu menapakan kaki mereka sendiri.

Bukan hanya itu, banyak kasus kekerasan yang kerap kali terjadi.
Contoh gampangnya begini, pernah melihat laki-laki meremehkan perempuan dan berani bertindak kasar dengan perempuan?
Itu semua karena dia dibesarkan dengan pemahaman tidak langsung bahwa perempuan tidak pantas dihargai.
Mungkin dia pernah melihat ibunya disakiti oleh ayahnya, terus menerus, dan ibunya tidak berdaya melawan. Efek psikologisnya adalah, anak itu merasa laki-laki memang harus superior dan bisa bertindak semena-mena terhadap perempuan.
Salah ayahnya? jelas kelihatan bahwa dia bertindak kasar dan menanamkan tindakannya itu di otak anaknya.
Salah ibunya? karena sang ibu tidak berdaya melawan dan terlihat lemah! Itu salahnya! Sehingga menciptakan image bahwa memang-sudah-seharusnya-begitu..
Siapa sangka, sang anak yang tiga puluh tahun kemudian, akan melakukan hal yang sama kepada istrinya dan juga anaknya. Karena, dia juga korban kekerasan pelampiasan ayahnya.

Contoh nyatanya...
Anak itu saat ini masih berusia delapan tahun. Hidup dalam kondisi tertekan karena ayahnya berharap banyak kepada dirinya.
Ayahnya berharap anak itu menjadi anak yang pintar dan cemerlang di sekolahnya.
Yang gue tahu adalah, sepupu kecil gue-well call him Julio, seorang anak yang aktif dan masih senang bermain-main. Yah you know lah, khas anak delapan tahun, masih kelas tiga sd...
Gue yakin, Julio adalah anak yang cerdas. Dia bisa saja lebih pintar dan bisa mendapat nilai yang bagus dari Julio yang sekarang kalau dia tidak ditekan oleh ayahnya.
Ditekannya kaya apa?
Hmm, dijewer... dipukul.. dibentak.. ditendang.. , untuk alasan yang menurut gue gak perlu deh pakai kekerasan segala.. ohh please deh oom!
Seorang Julio yang kurus kerempeng melawan ayahnya yang besar dan gendut, itu seperti bayangan neraka bagi gue.
Maka, gue enggak heran nilai Julio tidak mengalami kemajuan berarti..

Di suatu malam, dimana kedua ayah bertemu (bokap gue dan bokap Julio) dan berdiskusi di ruang tamu yang dipenuhi asap rokok mereka.. Gue ikutan nimbrung.

“Tam, kamu itu pinter dari kapan sih?” pertanyaan keluar dari mulut si Oom

“Dari SD sih..” jawab gue pelan.

“Si Julio itu lhoo... Mengkhawatirkan banget... sebentar lagi kan dia mau naik kelas tiga (saat itu si Julio masih kelas dua), apalagi SD sudah ada UN sekarang..”

“Yah namanya juga anak kecil, masih suka main-main.. hahaha”
bokap gue tertawa

“Tapi, yah... Bingung harus diapain lagi Julio, segala macem udah Oom lakukan (mulai dari urusan les-les dan tentu aja... yang udah gue sebutkan di atas)..”

“Dulu, mas Yugo (nama sepupu gue yang seumuran gue) juga enggak pinter-pinter amat kok.. Kalau cowok emang beda sama cewek Oom. Kemampuan belajarnya baru muncul kalau sudah dewasa, dalam artian, dia sudah mengerti tingkat tanggung jawabnya. Kalau sekarang sih, biarin aja Julio nikmatin masa kecilnya...”

“Tapi yahh kan enggak bisa kaya gitu”
si Oom udah mulai resek sama sikap gue yang dukung Julio.

Gue berusaha menjaga nada bicara gue, “Kemaren aku sama mamah abis ikutan talkshow gitu... Seorang anak yang belajar dalam tekanan, walaupun sekeras apapun belajar, tidak akan bisa masuk pelajaran itu ke otaknya. Bahkan bisa jadi benci.. Jadi, kalau belajar itu memang harus dalam keadaan santai.. enggak boleh ada tekanan”

“Bahkan ya Oom, jika sebelum belajar kita menganggap belajar itu menyebalkan. Secara otomatis otak kita tidak mau menerima pelajaran itu. Sistem otak emang kayak gitu..”


Si Oom diem lama sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, “Jadi?”

“Belajar harus dibuat semenyenangkan mungkin,”
kataku tegas.

“Tapi waktu kecil Oom juga enggak suka belajar. Wah, bapaknya Oom itu kan dulu orangnya keras banget.. Jam tujuh malam, TV harus mati, semuanya harus udah ada di kamar dan belajar. Kalau enggak, punggung Oom udah merah semua dipukul pake iket pinggang”

“Tiap orang kan beda-beda Oom. Lagian jaman udah berubah”

“Tapi,”
disini nada Oom gue sudah mulai naik, “Walaupun sebenci apapun Oom sama bapak Oom dulu, hasilnya bisa Oom lihat sekarang. Rasa benci Oom, Oom ubah jadi prestasi...”

“Tapi Oom, Julio itu bukan Oom”


Disini inilah, yang gue bilang lingkaran setan.
Si Oom itu menerapkan hal yang paling dia benci kepada anaknya. Dia mengakui bahwa dia benci perlakuan bapaknya. Tetapi dia menerapkan kepada anaknya.
Hurt people hurts people..

Dan gue merasa kasihan, kepada Oom gue yang bebal, susah untuk dikasih tahu.
Kepada tante gue, yang saat ini sedang berjuang merubah keadaan agar rumah terasa seperti rumah.
Kepada sepupu kecil gue, Julio, yang gue harap dewasa nanti dia tidak menjadi seperti Oom gue yang dengan gampangnya bertindak kasar.

Intinya sih, semua kekerasan itu berasal dari satu hal: KELUARGA.
Ruang lingkup terkecil tetapi merupakan fondasi dasar karakter manusia.
Maka kepada orangtua muda, besarkanlah anak kalian dengan kasih sayang, contohkanlah hal-hal yang baik, janganlah berlaku kasar, mereka juga manusia, bukan berarti karena mereka adalah anak kalian... kalian dapat berlaku seenaknya.

Untuk merubah Indonesia menuju arah yang lebih baik.
Ubahlah keluarga kita menjadi keluarga yang lebih baik, biarkanlah itu mengakar kuat, menjadi budaya yang akan dilestarikan oleh anak-cucu kita nantinya.. :)

bagaimana dengan yang muda?
itu dia. Karena kalian-gue, masih memiliki banyak waktu..
maka mulailah perubahan itu sekarang...
memang ini adalah sesuatu yang gampang untuk ditulis dan susah untuk dilaksanakan.
tapi enggak ada salahnya mencoba kan?


***
Tulisan ini sebelumnya pernah dipublish disini. Walaupun hampir sudah satu tahun berlalu, menurut saya pribadi tulisan ini everlasting.

Penulis adalah Rr Nugraheni Widia Utami yang lebih suka dipanggil oleh nama belakangnya; Tami. Dan lebih dikenal sebagai Tami Prasetyo.
Mahasiswa Ilmu Politik yang baru saja akan naik semester 3. Tami juga suka menampilkan tulisan-tulisannya disini.

0

Salah Kaprah Anarkis

Posted by HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK on 01.25 in ,

Anarkis...
Apa yang terlintas di kepala Anda ketika mendengar kata ini?
Bisa jadi itu adalah kerusuhan, chaos, dan tindakan brutal lainnya. Mungkin juga termasuk segala aksi vandalisme di dalamnya.

Di berita (baik elektronik maupun cetak) kita sering mendengar narasi dan tulisan yang berbunyi :
"mahasiswa melakukan aksi anarkis dengan membakar ban..."
"para pengunjuk rasa berlaku anarkis. Mereka menerobos pintu masuk gedung DPRD dan memecahkan semua kaca, serta membanting kursi.."

Well, percaya atau tidak, banyak media dan masyarakat Indonesia yang telah tersesat dalam memahami anarkisme dan beranggapan bahwa aksi-aksi anarkis adalah aksi yang berkonotasi kepada tindakan rusuh dan berimplikasi kepada bentuk penghancuran atau perusakan materi.
Dengan pemahaman seperti itu, bagaimana Anda dapat menjelaskan frase negara anarkis? Apakah itu berarti sebuah negara yang kacau balau, dengan kerusuhan dan kekacauan menjadi suatu hal yang terjadi sehari-hari di negara tersebut?

Kenyataannya, bukan itulah yang dimaksud dengan anarkis. Disadur dari pemikiran Mikhail Bakunin dan Peter Kropotkin, anarkis kurang lebih adalah sebuah bentuk penolakan terhadap adanya sebuah struktur negara yang represif. Bukan penolakan terhadap kesatuan sebuah negara (pemerintah), melainkan kepada sistem administrasinya yang represif (pemerintahan). Para penganut anarkisme memandang bahwa negara tidak lebih sebagai sebuah struktur yang melingkupi sekelompok masyarakat, namun bukan berarti berdiri berdasarkan legitimasi atas sebuah kebijakan yang berdasarkan kepada kepentingan negara namun mengabaikan kepentingan rakyat.
Adapun salah satu contohnya adalah berdirinya sebuah distrik sendiri di daerah Depok yang bernama "Kampung 99". Di sana, mereka menjalani hidup tanpa struktur masyarakat yang jelas, Bisa dibilang, keadaannya mendekati classless society.
Artinya mereka tidak melakukan penekanan satu terhadap yang lain , melainkan melakukan semua pekerjaannya bersama-sama. Dari memperoleh bahan makanan, hingga mengolah makanan. Di situlah terbentuk satu sistem masyarakat yang egaliter.

Dasar pemikiran anrkisme sendiri, apabila disederhanakan, dapat disimpulkan sebagai tindakan anti otoritas. Para kaum anarkis melakukan penolakan tegas terhadap gagasan mengenai suatu tatanan berkuasa yang menuntut dan menghendaki kepatuhan warganya (kalau perlu nyawa warganegaranya) dalam otoritas sentral yang disakralkan dalam bentuk negara. Adapun kekuasaan dan alat-alat otoritas negara tersebut dikhawatirkan dapat muncul sebagai sumber ancaman yang potensial terhadap hak kebebasan individu.


Memang pada kenyataannya, apabila suatu negara melakukan sebuah langkah kebijakan yang berujung kepada kerugian rakyat dan berasioasi pada otoritas, kaum anarkis melakukan aksi dengan kekerasan. Misalnya membakar gereja, dll. Namun itu bukan sebuah justifikasi bahwa anarkisme = kekerasan dan kerusuhan.

Terus terang, gw sendiri tidak mengetahui dengan detail mengenai paham-paham anarkisme. Karena gw sendiri bukanlah pribadi yang setuju dengan gagasan umum anarkisme, yaitu pembentukan stateless society, yang menurut gw cuma sebagai mimpi besar kaum anarkis. Tapi setidaknya, gw ga ingin kalau orang-orang memahami anarkisme sebagai sesuatu yang hanya berkonotasi negatif seperti itu saja, tanpa memahami dasar mereka dalam melakukan tindakan rusuh tersebut. Bukan berarti orang-orang dari kelompok keagamaan tertentu yang menghancurkan tempat billiard sebagai aksi protes terhadap tindakan asusila, dapat dikelompokkan sebagai kaum anarkis bukan? Pengelompokkan mana yang anarkis dan mana yang bukan, dilakukan berdasarkan atas motif mereka melakukan hal tersebut, dan bukan kepada tingkat kerusuhan dan kehancuran yang dihasilkan. Sadarlah bahwa salah kaprah seperti ini harus dihentikan.



****

Penulis adalah Indra Pradana atau biasanya lebih dikenal dengan sebutan Dandy. Mahasiswa Ilmu Politik angkatan 2006 yang mengambil fokus studi Perbandingan Politik Luar Negeri.
Terimakasih atas kontribusinya, ditunggu tulisan-tulisan yang lain ya!
Oh iya, Dandy juga aktif menulis di blog-nya sendiri lho.
Silahkan dikunjungi di sini.

0

Editorial's note: A Hello For You

Posted by HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK on 09.15 in
Terimakasih & Selamat Datang

Dua kata yang ingin saya ucapkan dengan hadirnya Blog ini ke tengah-tengah publik.
Terimakasih kepada mereka yang telah meluangkan waktunya membuka blog ini.
Selamat datang kepada kamu yang sedang membaca tulisan ini.

Mari kita mulai dengan pertanyaan

Apakah itu hmip-ui.blogspot.com?
Oke, seperti yang bisa kalian klik di bagian about us HMIP adalah Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik UI. Dimana blog ini merupakan bagian kecil dari wujud HMIP yang hadir di depan kalian. Sesuai dengan fungsi blog sebagai daily journal. Saya mengubahnya sedikit tanpa menghilangkan fungsinya. Isinya sendiri akan berupa tulisan-tulisan mahasiswa ilmu politik UI tentang pandangan politik mereka, tentang berita-berita perpolitikan yang sedang ‘in’ terjadi di Indonesia ataupun di dunia. Tentunya akan dikemas dengan menarik dan memudahkan pembaca mengerti. Tidak hanya sekedar mengerti, tetapi harapan kami adalah agar pembaca juga peduli dengan apa yang sedang terjadi saat ini.

Bukan hanya tulisan-tulisan kami yang akan kami tampilkan tetapi juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan dan dilaksanakan oleh HMIP beserta mahasiswa-mahasiswi Ilmu Politik itu sendiri. Program-program kerja yang terealisasikan, event-event yang diikuti, perkembangan perkuliahan dan segala macam lainnya.

Hanya satu harapan kami, semoga kedepannya Blog ini akan terus berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Amien

ABOUT US

Posted by HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK on 08.53 in ,
HMIP adalah singkatan dari Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik. Merupakan himpunan mahasiswa yang menjadi wadah, keluarga dan tempat berkumpul para mahasiswa-mahasiswi jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia.

Saat ini adalah masa kepengurusan HMIP 2009 dimana dipimpin oleh S.N Aulia seorang mahasiswi Ilmu Politik tahun 2007. Bersama staff-staffnya yang terdiri dari angkatan 2007 dan 2008 bersama-sama membangun HMIP sesuai dengan visi dan misi yang dibawa oleh Aulia. Yaitu menjadikan HMIP sebagai wadah yang KOKOH, CERDAS dan INFORMATIF.




You also can contact us in:
hmip2009.ui@gmail.com





Copyright © 2009 Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik UI All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.